Kamis, 12 Mei 2016

PENYAKIT FILARIASIS



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Filariasis adalah Filariasis adalah penyakit zoonosis menular yang banyak ditemukan di wilayah tropika seluruh dunia. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit berupa cacing filaria, yang terdiri dari tiga spesies yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Penyebabnya adalah sekelompok cacing parasit nemtoda yang tergolong superfamilia Filarioidea yang menyebabkan infeksi sehingga berakibat munculnya edema. Cacing tersebut hidup di kelenjar dan saluran getah bening sehingga menyebabkan kerusakan pada sistem limfatik yang dapat menimbulkan gejala akut berupa peradangan kelenjar dan saluran getah bening (adenolimfangitis) terutama di daerah pangkal paha dan ketiak tetapi dapat pula di daerah lain.
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia (2013), Provinsi dengan kasus klinis filariasis tertinggi pada tahun 2013 yaitu Aceh (2.359 kasus), Nusa Tenggara Timur (2.203 kasus), dan Papua (1.346 kasus). Pada tahun 2013 terdapat sebanyak 302 kabupaten/kota endemis filariasis. Dari jumlah tersebut hanya 92 kabupaten/kota (30,5%) yang melaksanakan Pemberian Obat Massal Pencegahan (POMP) filariasis dan sebanyak 32 Kabupaten/Kota yang telah selesai POMP filariasis selama lima tahun berturut-turut. Belum semua kabupaten endemis filariasis melaksanakan POMP, hal itu disebabkan kurangnya komitmen pemerintah daerah dalam menyediakan biaya operasional POMP selama minimal lima tahun berturut- turut yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Sedangkan tanggung jawab pemerintah pusat yaitu menyediakan obat.




BAB II
PERMASALAHAN
2.1 Angka Kesakitan Filariasis
            Berdasarkan data WHO (2014) Diperkirakan 120 juta orang di daerah tropis dan subtropis di dunia terinfeksi filariasis limfatik. Hampir 25 juta orang memiliki penyakit kelamin (paling sering hidrokel) dan hampir 15 juta sebagian besar perempuan, memiliki lymphoedema atau kaki gajah kaki. Sekitar 66% dari mereka yang berisiko infeksi hidup di WHO Kawasan Asia Tenggara dan 33% di wilayah Afrika.
            Berdasarkan Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit  dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI (2014), Angka kejadian filariasis atau prevalensi orang  yang mengandung mikrofilaria adalah antara 1- 5 % dan penderita filariasis dengan manifestasi limfedema/ elephantiasis/hidrokel adalah 12,714 pasien
(Laporan Dinkes Provinsi 2013).
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia (2013), Provinsi dengan kasus klinis filariasis tertinggi pada tahun 2013 yaitu Aceh (2.359 kasus), Nusa Tenggara Timur (2.203 kasus), dan Papua (1.346 kasus). Pada tahun 2013 terdapat sebanyak 302 kabupaten/kota endemis filariasis.
            Di Aceh Utara penyakit filariasis paling banyak kasus ditemukan di Gampong Penayan Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara, jumlah kasus klinis sangat tinggi yaitu 1.353 kasus akan tetapi Mf rate hanya 7,9. Hal ini dapat terjadi karena jumlah kasus merupakan akumulasi jumlah kasus klinis dalam waktu lama, sedangkan Mf rate adalah hasil pemeriksaan pada satu waktu tertentu.
2.2 Angka Kematian Filariasis
2.3 Gambaran yang beresiko menderita Filariasis














BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Pengertian Filariasis
Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit nematoda yang tergolong superfamilia Filarioidea yang menyebabkan infeksi sehingga berakibat munculnya edema yang tersebar di Indonesia. Walaupun penyakit ini jarang menyebabkan kematian, tetapi dapat menurunkan produktivitas penderitanya karena timbulnya gangguan fisik atau kecacatan. Dampaknya terhadap penderita sering diasingkan di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Penyakit ini jarang terjadi pada anak karena manifestasi klinisnya timbul bertahun-tahun kemudian setelah infeksi.
Di Indonesia filariasis yang sering dikenal sebagai penyakit kaki gajah disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria, yaitu Brugia malayi, Brugia timori, dan Wuchereria bancrofti. Cacing dewasa hidup di dalam saluran limfe dan pembuluh limfe, sedangkan larva cacing (mikrofilaria) dijumpai di dalam darah tepi penderita.
3.2 Gejala Klinis Filariasis
Perjalanan penyakit pada manusia yang terkena Filariasis bermacam-macam, tergantung pada interaksi antara host dan parasit, gambaran penyakit bervariasi dari manifestasi klinik yang asimtomatik sampai berat.
Masa inkubasi yaitu mulai dari masuknya larva infektif ke dalam kulit sampai pertama kali timbulnya microfilaria di dalam darah tepi lamanya bervariasi, antara 5-15 bulan.
Penduduk asli dari daerah hiperendemik biasanya infeksi terjadi dari masa anak-anak dan tidak disertai tanda-tanda infeksi yang jelas akan tetapi di dalam darahnya didapatkan mikrofilaria yang merupakan sumber infeksi.
Sebaliknya bagi orang datang dari daerah yang bebas filarial ke daerah endemic akan terjadi gejala awal limfangitis. Manifestasi awal adalah nyeri yang hebat, pembengkakan, kemerahan sepanjang saluran limfe, kadang-kadang disertai Tropical Pulmonary Eosinofilia. Tropical Pulmonary Eosinofilia adalah suatu sindrom yang terdiri dari infiltrasi kronik pada paru, hipereosinofil pada darah tepi, nyeri dada, batuk, dispnu, kadang kadang disertai hemoptisis, panas, eosinofilia masif (gambaran yang paling menyolok), dan gambaran toraks memperlihatkan bercak-bercak yang menyebar dalam paru.
Gejala tersebut hilang bila penderita beristirahat total, tetapi cenderung untuk kambuh kembali apabila melakukan aktifitas.
Gejala klinis filariasis terdiri dari gejala klinis akut dan kronis. Pada dasarnya gejala klinis filariasis yang disebabkan oleh infeksi Wucheria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori adalah sama, tetapi gejala klinis akut tampak lebih jelas dan lebih berat pada infeksi oleh Brugia malayi dan Brugia timori. Infeksi Wuchereria bancrofti dapat menyebabkan kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin, tetapi infeksi oleh Brugia malayi dan Brugia timori tidak menimbulkan kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin (Depkes RI, 2009).
3.2.1 Gejala Klinis Akut
Gejala klinis akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang disertai demam, sakit kepala, rasa lemah dan timbulnya abses. Abses dapat pecah dan kemudian mengalami penyembuhan dengan menimbulkan parut, terutama di daerah lipat paha dan ketiak. Parut lebih sering terjadi pada infeksi Brugia malayi dan Brugia timori dibandingkan dengan infeksi Wuchereria brancofti, demikian juga dengan timbulnya limfangitis dan limfadenitis. Sebaliknya, pada infeksi Wuchereria brancofti sering terjadi peradangan buah pelir (orkitis), peradangan epididimis (epididimitis) dan peradangan funikulus spermatikus (funikulitis) (Depkes RI, 2009).
3.2.2 Gejala Klinis Kronis
A. Limfedema
Pada infeksi Wuchereria brancofti terjadi pembengkakan seluruh kaki, seluruh lengan, skrotum, penis, vulva, vagina, dan payudara, sedangkan pada infeksi Brugia, terjadi pembengkakan kaki di bawah lutut, lengan di bawah siku dimana siku dan lutut masih normal.
B. Lymph Scrotum
Adalah pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit skrotum, kadang-kadang pada kulit penis, sehingga saluran limfe tersebut mudah pecah dan cairan limfe mengalir keluar dan membasahi pakaian. Ditemukan juga lepuh (vesicles) besar dan kecil pada kulit, yang dapat pecah dan membasahi pakaian, ini mempunyai risiko tinggi terjadinya infeksi ulang oleh bakteri dan jamur, serangan akut berulang dan dapat berkembang menjadi limfedema skrotum. Ukuran skrotum kadang-kadang normal kadang-kadang sangat besar.
C. Kiluria
Kiluria adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di ginjal (pelvis renal) oleh cacing filaria dewasa spesies Wuchereria brancofti, sehingga cairan limfe dan darah masuk ke dalam saluran kemih. Gejala yang timbul adalah air kencing seperti susu, karena air kencing banyak mengandung lemak dan kadang-kadang disertai darah (haematuria), sukar kencing, kelelahan tubuh, kehilangan berat badan.
D. Hidrokel
Hidrokel adalah pembengkakan kantung buah pelir karena terkumpulnya cairan limfe di dalam tunica vaginalis testis. Hidrokel dapat terjadi pada satu atau dua kantung buah zakar, dengan gambaran klinis dan epidemiologis sebagai berikut :
1) Ukuran skrotum kadang-kadang normal tetapi kadang-kadang sangat besar sekali, sehingga penis tertarik dan tersembunyi .
2) Kulit pada skrotum normal, lunak dan halus.
3) Kadang-kadang akumulasi cairan limfe disertai dengan komplikasi, yaitu komplikasi dengan chyle (chylocele), darah (haematocele) atau nanah (pyocele). Uji transiluminasi dapat digunakan untuk membedakan hidrokel dengan komplikasi dan hidrokel tanpa komplikasi. Uji transiluminasi ini dapat dikerjakan oleh dokter puskesmas yang sudah dilatih.
4) Hidrokel banyak ditemukan di daerah endemis Wuchereria bancrofti dan dapat digunakan sebagai indikator adanya infeksi Wuchereria bancrofti (Depkes RI, 2009).
3.3 Diagnosis Klinik
Pemeriksaan fisik merupakan cara diagnosis paling cepat dan murah dan dapat digunakan dalam pelaksanaan rapid survey (Soeyoko, 2002). Untuk konfirmasi diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan (Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI, 2008) :
3.3.1 Diagnosis Parasitologi

Deteksi parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan hidrokel atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal dan teknik konsentrasi Knott. Pada pemeriksaan hispatologi, kadang-kadang potongan cacing dewasa dapat dijumpai di saluran dan kelenjar limfe dari jaringan yang dicurigai tumor. Deteksi biologi molekuler dapat digunakan untuk mendeteksi parasit melalui DNA parasit dengan menggunakan reaksi rantai polymerase (Polymerase Chain Reaction/PCR)

3.3.2 Radiodiagnosis

Pemeriksaan dengan Ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar getah bening inguinal penderita akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak. Pemeriksaan ini hanya dapat digunakan untuk infeksi filaria oleh Wuchereria bancrofti. Pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang ditandai dengan zat radioaktif menunjukkan adanya abnormalitas sistem limfatik sekalipun pada penderita yang asimptomatik mikrofilaremia.
3.3.3 Diagnosis Imunologi

Deteksi antigen dengan immunochromatographic test (ICT) yang menggunakan antibodi monoklonal telah dikembangkan untuk mendeteksi antigen Wuchereria bancrofti dalam sirkulasi darah. Deteksi antibodi dengan menggunakan antigen rekombinan telah dikembangkan untuk mendeteksi antibodi subklas IgG4 pada filariasis brugia.

3.4. Etiologi Penyakit Filariasis
Di Indonesia dikenal 3 filaria yang menimbulkan filariasis yang disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria, yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori. Mikrofilaria mempunyai periodisitas tertentu, artinya mikrofilaria berada di darah tepi pada waktu-waktu tertentu saja. Misalnya pada Wuchereria bancrofti bersifat periodik nokturna, artinya mikrofilaria banyak terdapat di dalam darah tepi pada malam hari, sedangkan pada siang hari banyak terdapat di kapiler organ dalam seperti paru-paru jantung dan ginjal (Depkes RI, 2009).
Secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi 2, yaitu :
1.    Wuchereria bancrofti
Filariasis bancrofti umumnya bersifat periodik nokturnal (nocturnal periodic), sehingga mikrofilaria hanya dijumpai di dalam darah tepi hanya pada malam hari (pukul 22.00 hingga 02.00).  Daerah perkotaan, filariasis W. bancrofti ditularkan oleh nyamuk Culex quinquefasciatus. Nyamuk Anopheles dan nyamuk Aedes merupakan vektor filariasis W. bancrofti di pedesaan. Cacing dewasa berbentuk seperti rambut, berwarna putih susu. Cacing jantan panjang tubuhnya sekitar 4 cm, mempunyai ekor melengkung yang dilengkapi dua psikulum yang tidak sama panjang. Cacing betina berukuran sekitar 10 cm, mempunyai ekor yang runcing bentuknya. Larva filaria ini mudah ditemukan di dalam darah tepi, dengan panjang sampai 300 mikron dan lebar 8 mikron, mempunyai selubung (sheath) hialin, dengan inti atau sel somatik berbentuk granul yang tersusun tidak mencapai ujung ekor.
Jika mikrofilaria yang beredar di dalam darah penderita terhisap oleh nyamuk, di dalam tubuh nyamuk dalam waktu 10 sampai 20 hari larva berkembang menjadi larva stadium tiga yang infektif (L3), yang panjangnya sekitar 1500 sampai 2000 mikron dan lebar badan antara 18 dan 23 mikron. L3 dapat ditemukan di dalam selubung proboscis nyamuk yang menjadi vektor perantaranya.
Jika nyamuk menggigit manusia lainnya akan memindahkan larva L3 yang secara aktif akan masuk ke saluran limfe lipat paha, skrotum atau saluran limfe perut, dan hidup di tempat tersebut. Sesudah berganti dua kali, di dalam tubuh manusia mikrofilaria akan berkembang menjadi cacing dewasa. Cacing dewasa betina yang berumur 5 sampai 18 bulan telah matang seksual dan sesudah mengadakan kopulasi dengan cacing jantan dapat mulai melahirkan mikrofilaria, yang segera memasuki sistem sirkulasi perifer.
Pada fase awal perjalanan penyakit, penderita mengalami limfangitis akut dengan gejala saluran limfe yang dapat diraba, bengkak dan berwarna merah, serta terasa nyeri. Penderita juga menderita demam disertai menggigil. Gejala tersebut selanjutnya diikuti gejala dan keluhan yang terkait dengan terjadinya limfadenitis, tunikulitis dan abses.
Apabila terjadi obstruksi saluran limfe, maka dapat disimpulkan manifestasi berupa varises limfe, hidrokel, kiluria, limfskrotum dan elefantiasis. Untuk menentukan diagnosis pasti filariasis bancrofti, dilakukan pemeriksaan darah (tetes tebal) untuk menemukan mikrofilaria yang khas bentuknya di dalam darah tepi.
          
2.     Brugia malayi dan Brugia timori
Disebabkan oleh cacing nematode Brugia malayi dan Brugia timori. B. malayi ditemukan pada masyarakat pedesaan yang tinggal di daerah persawahan terbuka yang sebagian besar ditemukan di Asia Tenggara.
Brugia malayi dan Brugia timori ditularkan oleh nyamuk Anopheles barbirostris. Daur hidup kedua parasit ini lebih pendek daripada W.bancrofti. Cacing dewasa hidup di dalam saluran dan pembuluh limfe, sedangkan mikrofilaria dijumpai di dalam darah tepi hospes definitif. Bentuk cacing dewasa mirip bentuknya dengan W. bancrofti, sehingga sulit dibedakan. Panjang cacing betina B. malayi dapat mencapai 55 mm, dan cacing jantan 23 cm. B. timori betina panjang badannya sekitar 39 mm dan yang jantan panjangnya dapat mencapai 24 mm.
Mikrofilaria Brugia mempunyai selubung, panjangnya dapat mencapai 260 mikron pada B. timori. Ciri khas mikrofilaria B. malayi adalah bentuk ekornya yang mengecil, dan mempunyai dua inti terminal, sehingga mudah dibedakan dari mikrofilaria W. bancrofti.
Masa pertumbuhan B. malayi dan B. timori di dalam tubuh nyamuk kurang lebih 10 hari dan pada manusia kurang lebih 3 bulan. Dalam tubuh nyamuk kedua parasit ini mengalami dua kali pergantian kulit, brkembang dari larva stadium II dan III, menyerupai perkembangan W. bancrofti. Perkembangan di dalam tubuh manusia kedua parasit ini sama dengan perkembangan W. bancrofti.
Brugia ada yang zoonotik, tetapi ada yang hanya hidup pada manusia. Pada Brugia yang zoonotik, selain manusia juga berbagai hewan mamalia dapat bertindak selaku hospes definitif. Periodisitas B. malayi bermacam-macam, ada yang nocturnal periodic, nocturnal subperiodic, atau non periodic. B. timori bersifat periodik nokturna.
Nyamuk yang dapat menjadi vektor penularnya adalah Anopheles (vektor brugiasis non zoonotik) atau Mansonia (vektor brugiasis zoonotik).  Berbeda dengan filariasis bancrofti, limfadenitis pada brugiasis malayi yang terjadi pada satu kelenjar inguinal dapat menjalar ke bawah. Selain itu limfadenitis jika sembuh akan meninggalkan jaringan parut yang khas.
Elefantiasis pada brugiasis malayi hanya mengenai tungkai bawah yang terletak di bawah lutut. Hanya kadang-kadang terjadi di lengan bawah di bawah siku. Pada penyakit ini juga tidak pernah terjadi limfangitis dan elefantiasis pada alat kelamin dan payudara.
Untuk menetapkan diagnosis pasti harus diperiksa darah tepi untuk menemukan mikrofilaria yang khas bentuknya. Pemeriksaan imunologik yang dilakukan terutama bertujuan untuk meningkatkan kepekaan dalam menentukan diagnosis dini filariasis malayi ini.

. Ditemukan di daerah perkotaan seperti Jakarta, Bekasi, Tangerang, Semarang, Pekalongan dan sekitarnya memiliki periodisitas nokturna, ditularkan oleh nyamuk Culex quinquefasciatus yang berkembang biak di air limbah rumah tangga. Dan Ditemukan di daerah pedesaan di luar Jawa, terutama tersebar luas di Papua dan Nusa Tenggara Timur, mempunyai periodisitas nokturna yang ditularkan melalui berbagai spesies nyamuk Anopheles dan Culex dan Aedes.

Secara umum daur hidup spesies cacing tersebut tidak berbeda. Daur hidup parasit terjadi di dalam tubuh manusia dan tubuh nyamuk. Cacing dewasa (disebut makrofilaria) hidup di saluran dan kelenjar limfe, sedangkan anaknya (disebut mikrofilaria) ada di dalam sistem peredaran darah (Depkes RI, 2009).
a.    Makrofilaria
Makrofilaria (cacing dewasa) berbentuk silindris, halus seperti benang berwarna putih susu dan hidup di dalam sistem limfe. Cacing betina bersifat ovovivipar dan berukuran 55 – 100 mm x 0,16 mm, dapat menghasilkan jutaan mikrofilaria. Cacing jantan berukuran lebih kecil ± 55 mm x 0,09 mm dengan ujung ekor melingkar.
b.    Mikrofilaria
Cacing dewasa betina setelah mengalami fertilisasi mengeluarkan jutaan anak cacing yang disebut mikrofilaria. Ukuran mikrofilaria 200-600 μm x 8 μm dan mempunyai sarung. Secara mikroskopis, morfologi spesies mikrofilaria dapat dibedakan berdasarkan : ukuran ruang kepala serta warna sarung pada pewarnaan giemsa, susunan inti badan, jumlah dan letak inti pada ujung ekor.
c.    Larva dalam Tubuh Nyamuk
Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan yang mengandung mikrofilaria, maka mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam lambung dan melepaskan selubungnya, kemudian menembus dinding lambung dan bergerak menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Setelah ± 3 hari, mikrofilaria mengalami perubahan bentuk menjadi larva stadium 1 (L1), bentuknya seperti sosis berukuran 125-250 mm x 10-17 mm, dengan ekor runcing seperti cambuk. Setelah ± 6 hari, larva tumbuh menjadi larva stadium 2 (L2) disebut larva preinfektif yang berukuran 200-300 mm x 15-30 mm, dengan ekor tumpul atau memendek. Pada stadium 2 ini larva menunjukkan adanya gerakan. Hari ke 8 – 10 pada spesies Brugia atau hari 10 – 14 pada spesies Wuchereria, larva tumbuh menjadi larva stadium 3 (L3) yang berukuran ± 1400 mm x 20 mm. Larva stadium 3 tampak panjang dan ramping disertai dengan gerakan yang aktif. Stadium 3 ini merupakan cacing infektif.
3.5. Pencegahan
            Cara pencegahan Filariasis meliputi :
a.    Memberikan penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis mengenai cara penularan dan cara pengendalian vector (nyamuk)
b.    Mengidentifikasi vector dengan mendeteksi adanya larva infektif dalam nyamuk dengan menggunakan umpan manusia, mengidentifikasi waktu dan tempat menggigit nyamuk serta tempat perkembangbiakannya. Jika penularan terjadi oleh nyamuk yang mengigit pada malam hari di dalam rumah maka tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan penyemprotan, menggunakan pestisida residual, memasang kawat kasa, tidur dengan menggunakan kelambu (lebih baik yang sudah di celup dengan insektisida piretroid), memakai obat gosok anti nyamuk (repellents) dan membersihkan tempat perindukan nyamuk seperti kakus yang terbuka, ban-ban bekas, batok kelapa dan membunuh larva dengan larvasida. Jika ditemukan Mansonia sebagai vector pada suatu daerah, tindakan yang dilakukan adalah dengan membersihkan kolam-kolam dari tumbuhan air (Pistia) yang menjadi sumber oksigen bagi larva tersebut.
c.    Pengendalian vector jangka panjang mungkin memerlukan perubahan konstruksi dan termasuk pemasangan kawat kasa serta pengendalian lingkungan untuk memusnahkan tempat perindukan nyamuk.
d.    Memberikan obat anti-filariasis (DEC dan Albendazol) secara berkala pada kelompok beresiko tinggi terutama di daerah endemis.  Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) merupakan obat yang paling efektif untuk membunuh microfilaria maupun makrofilaria
e.    pencegahan yang paling efektif tentu saja dengan memberantas nyamuk itu sendiri dengan cara 3M.
f.     menggunakan pakaian panjang yang menutupi kulit dan tidak memakai pakaian berwarna gelap karena dapat menarik nyamuk.
3.6. CARA PENGOBATAN
3.6.1. Pengobatan Massal

Pengobatan massal dilaksanakan di daerah endemis filariasis yaitu daerah dengan angka Mf rate > 1% yang bertujuan mematikan semua mikrofilaria yang ada dalam darah setiap penduduk dalam waktu bersamaan sehingga memutus rantai penularannya. Pengobatan massal filariasis dengan menggunakan kombinasi DEC 6 mg/kg BB, Albendazole 400 mg, dan Parasetamol 500 mg yang diberikan sekali setahun selama minimal 5 tahun (Depkes, 2009).

3.6.2. Pengobatan Kasus Klinis (Individual)
Pada semua kasus klinis filariasis di daerah endemis maupun non endemis diberikan DEC 3x1 tablet 100mg selama 10 hari dan parasetamol 3x1 tablet 500 mg dalam 3 hari pertama untuk orang dewasa. Dosis anak disesuaikan dengan berat badan. Tetapi harus menjadi perhatian bahwa pada kasus klinis yang dengan gejala klinis akut dan kasus klinis kronis yang sedang mengalami serangan akut harus diobati terlebih dahulu gejala akutnya dengan obat-obatan simptomatik seperti obat demam, penghilang rasa sakit atau antibiotik apabila ada infeksi sekunder :
• Bila penderita berada di daerah endemis maka pada tahun berikutnya diikutsertakan dalam pengobatan massal dengan DEC, Albendazole dan Parasetamol sekali setahun minimal 5 tahun secara berturut-turut.
• Bila penderita berada di daerah non endemis pemberian DEC dengan dosis 3 x 100mg selama 10 hari sudah cukup. Langkah selanjutnya adalah pembersihan dan perawatan diri (Depkes RI, 2009).

3.7. Rehabilitasi Penyakit Filariasis
Penderita filariasis yang telah menjalani pengobatan dapat sembuh total. Namun, kondisi mereka tidak bisa pulih seperti sebelumnya. Artinya, beberapa bagian tubuh yang membesar tidak bisa kembali normal seperti sedia kala. Rehabilitasi tubuh yang membesar tersebut dapat dilakukan dengan jalan operasi.

3.8. Prognosis Filariasis
 Pada kasus-kasus dini  dan sedang, prognosis baik terutama bila pasien pindah dari daerah endemic. Pengawasan daerah endemic tersebut dapat dilakukan dengan pemberian obat, serta pemberantasan vektornya. Pada kasus-kasus lanjut terutama dengan edema tungkai, prognosis lebih buruk.


















BAB III
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
            Filariasis adalah penyakit zoonosis menular yang banyak ditemukan di wilayah tropika seluruh dunia. Penyebabnya adalah sekelompok cacing parasit nemtoda yang tergolong superfamilia Filarioidea yang menyebabkan infeksi sehingga berakibat munculnya edema. Gejala yang umum terlihat adalah terjadinya elefantiasis, berupa membesarnya tungkai bawah (kaki) dan kantung zakar (skrotum), sehingga penyakit ini secara awam dikenal sebagai penyakit kaki gajah.
Filariasis  disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria, yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori. Mikrofilaria mempunyai periodisitas tertentu, artinya mikrofilaria berada di darah tepi pada waktu-waktu tertentu saja. Misalnya pada Wuchereria bancrofti bersifat periodik nokturna, artinya mikrofilaria banyak terdapat di dalam darah tepi pada malam hari, sedangkan pada siang hari banyak terdapat di kapiler organ dalam seperti paru-paru jantung dan ginjal (Depkes RI, 2009a).









DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar