BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Filariasis adalah Filariasis adalah penyakit zoonosis menular yang banyak ditemukan di wilayah
tropika seluruh dunia. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit
berupa cacing filaria, yang terdiri dari tiga spesies yaitu Wuchereria
bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Penyebabnya adalah sekelompok
cacing parasit nemtoda yang tergolong superfamilia Filarioidea yang menyebabkan
infeksi sehingga berakibat munculnya edema. Cacing tersebut hidup di kelenjar
dan saluran getah bening sehingga menyebabkan kerusakan pada sistem limfatik
yang dapat menimbulkan gejala akut berupa peradangan kelenjar dan saluran getah
bening (adenolimfangitis) terutama di daerah pangkal paha dan ketiak tetapi
dapat pula di daerah lain.
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia (2013), Provinsi dengan
kasus klinis filariasis tertinggi pada tahun 2013 yaitu Aceh (2.359 kasus),
Nusa Tenggara Timur (2.203 kasus), dan Papua (1.346 kasus). Pada tahun 2013 terdapat sebanyak 302 kabupaten/kota
endemis filariasis. Dari jumlah tersebut hanya 92 kabupaten/kota (30,5%) yang
melaksanakan Pemberian Obat Massal Pencegahan (POMP) filariasis dan sebanyak 32
Kabupaten/Kota yang telah selesai POMP filariasis selama lima tahun berturut-turut. Belum semua
kabupaten endemis filariasis melaksanakan POMP, hal itu disebabkan kurangnya komitmen
pemerintah daerah dalam menyediakan biaya operasional POMP selama minimal lima
tahun berturut- turut yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Sedangkan tanggung jawab
pemerintah pusat yaitu menyediakan obat.
BAB II
PERMASALAHAN
2.1 Angka Kesakitan Filariasis
Berdasarkan data
WHO (2014) Diperkirakan 120
juta orang di daerah tropis
dan subtropis di dunia terinfeksi filariasis limfatik. Hampir 25
juta orang memiliki penyakit
kelamin (paling sering hidrokel) dan hampir 15
juta sebagian besar perempuan, memiliki lymphoedema atau kaki
gajah kaki. Sekitar 66%
dari mereka yang berisiko infeksi hidup di
WHO Kawasan Asia
Tenggara dan 33%
di wilayah Afrika.
Berdasarkan
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI (2014), Angka kejadian filariasis atau prevalensi orang yang
mengandung mikrofilaria adalah antara 1- 5 % dan penderita filariasis dengan
manifestasi limfedema/ elephantiasis/hidrokel adalah 12,714 pasien
(Laporan Dinkes Provinsi 2013).
(Laporan Dinkes Provinsi 2013).
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia
(2013), Provinsi dengan kasus klinis filariasis tertinggi pada tahun 2013 yaitu
Aceh (2.359 kasus), Nusa Tenggara Timur (2.203 kasus), dan Papua (1.346 kasus).
Pada tahun 2013 terdapat sebanyak 302 kabupaten/kota
endemis filariasis.
Di Aceh Utara
penyakit filariasis paling banyak kasus ditemukan di Gampong Penayan Kecamatan
Nisam Kabupaten Aceh Utara, jumlah kasus klinis sangat tinggi yaitu 1.353 kasus
akan tetapi Mf rate hanya 7,9. Hal ini dapat terjadi karena jumlah kasus
merupakan akumulasi jumlah kasus klinis dalam waktu lama, sedangkan Mf rate
adalah hasil pemeriksaan pada satu waktu tertentu.
2.2 Angka Kematian Filariasis
2.3 Gambaran yang beresiko menderita Filariasis
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Pengertian Filariasis
Filariasis adalah penyakit yang
disebabkan oleh infeksi parasit nematoda yang tergolong superfamilia
Filarioidea yang menyebabkan infeksi sehingga berakibat munculnya edema yang
tersebar di Indonesia. Walaupun penyakit ini jarang menyebabkan kematian,
tetapi dapat menurunkan produktivitas penderitanya karena timbulnya gangguan
fisik atau kecacatan. Dampaknya terhadap penderita sering diasingkan di
lingkungan keluarga maupun masyarakat. Penyakit ini jarang terjadi pada anak
karena manifestasi klinisnya timbul bertahun-tahun kemudian setelah infeksi.
Di Indonesia filariasis yang sering
dikenal sebagai penyakit kaki gajah disebabkan oleh tiga spesies cacing
filaria, yaitu Brugia malayi, Brugia timori, dan Wuchereria bancrofti. Cacing
dewasa hidup di dalam saluran limfe dan pembuluh limfe, sedangkan larva cacing
(mikrofilaria) dijumpai di dalam darah tepi penderita.
3.2 Gejala Klinis Filariasis
Perjalanan penyakit pada manusia yang
terkena Filariasis bermacam-macam, tergantung pada interaksi antara host dan
parasit, gambaran penyakit bervariasi dari manifestasi klinik yang asimtomatik
sampai berat.
Masa inkubasi yaitu mulai dari masuknya
larva infektif ke dalam kulit sampai pertama kali timbulnya microfilaria di
dalam darah tepi lamanya bervariasi, antara 5-15 bulan.
Penduduk asli dari daerah hiperendemik
biasanya infeksi terjadi dari masa anak-anak dan tidak disertai tanda-tanda
infeksi yang jelas akan tetapi di dalam darahnya didapatkan mikrofilaria yang
merupakan sumber infeksi.
Sebaliknya bagi orang datang dari daerah
yang bebas filarial ke daerah endemic akan terjadi gejala awal limfangitis.
Manifestasi awal adalah nyeri yang hebat, pembengkakan, kemerahan sepanjang
saluran limfe, kadang-kadang disertai Tropical Pulmonary Eosinofilia. Tropical
Pulmonary Eosinofilia adalah suatu sindrom yang terdiri dari infiltrasi kronik
pada paru, hipereosinofil pada darah tepi, nyeri dada, batuk, dispnu, kadang
kadang disertai hemoptisis, panas, eosinofilia masif (gambaran yang paling
menyolok), dan gambaran toraks memperlihatkan bercak-bercak yang menyebar dalam
paru.
Gejala tersebut hilang bila penderita
beristirahat total, tetapi cenderung untuk kambuh kembali apabila melakukan
aktifitas.
Gejala klinis filariasis terdiri dari
gejala klinis akut dan kronis. Pada dasarnya gejala klinis filariasis yang
disebabkan oleh infeksi Wucheria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori
adalah sama, tetapi gejala klinis akut tampak lebih jelas dan lebih berat pada
infeksi oleh Brugia malayi dan Brugia timori. Infeksi Wuchereria bancrofti
dapat menyebabkan kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin, tetapi infeksi
oleh Brugia malayi dan Brugia timori tidak menimbulkan kelainan pada saluran
kemih dan alat kelamin (Depkes RI, 2009).
3.2.1 Gejala Klinis Akut
Gejala
klinis akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang disertai
demam, sakit kepala, rasa lemah dan timbulnya abses. Abses dapat pecah dan
kemudian mengalami penyembuhan dengan menimbulkan parut, terutama di daerah
lipat paha dan ketiak. Parut lebih sering terjadi pada infeksi Brugia malayi
dan Brugia timori dibandingkan dengan infeksi Wuchereria brancofti, demikian
juga dengan timbulnya limfangitis dan limfadenitis. Sebaliknya, pada infeksi
Wuchereria brancofti sering terjadi peradangan buah pelir (orkitis), peradangan
epididimis (epididimitis) dan peradangan funikulus spermatikus (funikulitis)
(Depkes RI, 2009).
3.2.2
Gejala Klinis Kronis
A.
Limfedema
Pada
infeksi Wuchereria brancofti terjadi pembengkakan seluruh kaki, seluruh lengan,
skrotum, penis, vulva, vagina, dan payudara, sedangkan pada infeksi Brugia,
terjadi pembengkakan kaki di bawah lutut, lengan di bawah siku dimana siku dan
lutut masih normal.
B.
Lymph Scrotum
Adalah
pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit skrotum, kadang-kadang pada
kulit penis, sehingga saluran limfe tersebut mudah pecah dan cairan limfe
mengalir keluar dan membasahi pakaian. Ditemukan juga lepuh (vesicles) besar
dan kecil pada kulit, yang dapat pecah dan membasahi pakaian, ini mempunyai
risiko tinggi terjadinya infeksi ulang oleh bakteri dan jamur, serangan akut
berulang dan dapat berkembang menjadi limfedema skrotum. Ukuran skrotum
kadang-kadang normal kadang-kadang sangat besar.
C.
Kiluria
Kiluria
adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di ginjal
(pelvis renal) oleh cacing filaria dewasa spesies Wuchereria brancofti,
sehingga cairan limfe dan darah masuk ke dalam saluran kemih. Gejala yang
timbul adalah air kencing seperti susu, karena air kencing banyak mengandung
lemak dan kadang-kadang disertai darah (haematuria), sukar kencing, kelelahan
tubuh, kehilangan berat badan.
D.
Hidrokel
Hidrokel
adalah pembengkakan kantung buah pelir karena terkumpulnya cairan limfe di
dalam tunica vaginalis testis. Hidrokel dapat terjadi pada satu atau dua
kantung buah zakar, dengan gambaran klinis dan epidemiologis sebagai berikut :
1) Ukuran skrotum kadang-kadang normal tetapi kadang-kadang
sangat besar sekali, sehingga penis tertarik dan tersembunyi .
2)
Kulit pada skrotum normal, lunak dan halus.
3) Kadang-kadang akumulasi cairan limfe disertai dengan komplikasi,
yaitu komplikasi dengan chyle (chylocele), darah (haematocele) atau nanah
(pyocele). Uji transiluminasi dapat digunakan untuk membedakan hidrokel dengan
komplikasi dan hidrokel tanpa komplikasi. Uji transiluminasi ini dapat
dikerjakan oleh dokter puskesmas yang sudah dilatih.
4) Hidrokel banyak ditemukan di daerah endemis Wuchereria
bancrofti dan dapat digunakan sebagai indikator adanya infeksi Wuchereria
bancrofti (Depkes RI, 2009).
3.3 Diagnosis Klinik
Pemeriksaan
fisik merupakan cara diagnosis paling cepat dan murah dan dapat digunakan dalam
pelaksanaan rapid survey (Soeyoko, 2002). Untuk konfirmasi diagnosis dipastikan
dengan pemeriksaan (Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI, 2008) :
3.3.1 Diagnosis Parasitologi
Deteksi
parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan hidrokel atau
cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal dan teknik konsentrasi
Knott. Pada pemeriksaan hispatologi, kadang-kadang potongan cacing dewasa dapat
dijumpai di saluran dan kelenjar limfe dari jaringan yang dicurigai tumor.
Deteksi biologi molekuler dapat digunakan untuk mendeteksi parasit melalui DNA
parasit dengan menggunakan reaksi rantai polymerase (Polymerase Chain
Reaction/PCR)
3.3.2
Radiodiagnosis
Pemeriksaan
dengan Ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar getah bening inguinal
penderita akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak. Pemeriksaan ini
hanya dapat digunakan untuk infeksi filaria oleh Wuchereria bancrofti.
Pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang
ditandai dengan zat radioaktif menunjukkan adanya abnormalitas sistem limfatik
sekalipun pada penderita yang asimptomatik mikrofilaremia.
3.3.3 Diagnosis Imunologi
Deteksi
antigen dengan immunochromatographic test (ICT) yang menggunakan antibodi
monoklonal telah dikembangkan untuk mendeteksi antigen Wuchereria bancrofti
dalam sirkulasi darah. Deteksi antibodi dengan menggunakan antigen rekombinan
telah dikembangkan untuk mendeteksi antibodi subklas IgG4 pada filariasis
brugia.
3.4. Etiologi Penyakit Filariasis
Di Indonesia dikenal 3 filaria yang
menimbulkan filariasis yang disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria, yaitu
Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori. Mikrofilaria mempunyai periodisitas
tertentu, artinya mikrofilaria berada di darah tepi pada waktu-waktu tertentu
saja. Misalnya pada Wuchereria bancrofti bersifat periodik nokturna, artinya
mikrofilaria banyak terdapat di dalam darah tepi pada malam hari, sedangkan
pada siang hari banyak terdapat di kapiler organ dalam seperti paru-paru jantung
dan ginjal (Depkes RI, 2009).
Secara
epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi 2, yaitu :
1.
Wuchereria bancrofti
Filariasis
bancrofti umumnya bersifat periodik nokturnal (nocturnal periodic), sehingga
mikrofilaria hanya dijumpai di dalam darah tepi hanya pada malam hari (pukul
22.00 hingga 02.00). Daerah
perkotaan, filariasis W. bancrofti ditularkan oleh nyamuk Culex
quinquefasciatus. Nyamuk Anopheles dan nyamuk Aedes merupakan vektor filariasis
W. bancrofti di pedesaan. Cacing dewasa berbentuk seperti rambut, berwarna
putih susu. Cacing jantan panjang tubuhnya sekitar 4 cm, mempunyai ekor
melengkung yang dilengkapi dua psikulum yang tidak sama panjang. Cacing betina
berukuran sekitar 10 cm, mempunyai ekor yang runcing bentuknya. Larva filaria
ini mudah ditemukan di dalam darah tepi, dengan panjang sampai 300 mikron dan
lebar 8 mikron, mempunyai selubung (sheath) hialin, dengan inti atau sel
somatik berbentuk granul yang tersusun tidak mencapai ujung ekor.
Jika
mikrofilaria yang beredar di dalam darah penderita terhisap oleh nyamuk, di
dalam tubuh nyamuk dalam waktu 10 sampai 20 hari larva berkembang menjadi larva
stadium tiga yang infektif (L3), yang panjangnya sekitar 1500 sampai 2000 mikron
dan lebar badan antara 18 dan 23 mikron. L3 dapat ditemukan di dalam selubung
proboscis nyamuk yang menjadi vektor perantaranya.
Jika
nyamuk menggigit manusia lainnya akan memindahkan larva L3 yang secara aktif
akan masuk ke saluran limfe lipat paha, skrotum atau saluran limfe perut, dan
hidup di tempat tersebut. Sesudah berganti dua kali, di dalam tubuh manusia
mikrofilaria akan berkembang menjadi cacing dewasa. Cacing dewasa betina yang
berumur 5 sampai 18 bulan telah matang seksual dan sesudah mengadakan kopulasi
dengan cacing jantan dapat mulai melahirkan mikrofilaria, yang segera memasuki
sistem sirkulasi perifer.
Pada
fase awal perjalanan penyakit, penderita mengalami limfangitis akut dengan
gejala saluran limfe yang dapat diraba, bengkak dan berwarna merah, serta
terasa nyeri. Penderita juga menderita demam disertai menggigil. Gejala
tersebut selanjutnya diikuti gejala dan keluhan yang terkait dengan terjadinya
limfadenitis, tunikulitis dan abses.
Apabila
terjadi obstruksi saluran limfe, maka dapat disimpulkan manifestasi berupa
varises limfe, hidrokel, kiluria, limfskrotum dan elefantiasis. Untuk
menentukan diagnosis pasti filariasis bancrofti, dilakukan pemeriksaan darah
(tetes tebal) untuk menemukan mikrofilaria yang khas bentuknya di dalam darah
tepi.
2. Brugia malayi dan Brugia timori
Disebabkan
oleh cacing nematode Brugia malayi dan Brugia timori. B. malayi ditemukan pada
masyarakat pedesaan yang tinggal di daerah persawahan terbuka yang sebagian
besar ditemukan di Asia Tenggara.
Brugia
malayi dan Brugia timori ditularkan oleh nyamuk Anopheles barbirostris. Daur
hidup kedua parasit ini lebih pendek daripada W.bancrofti. Cacing dewasa hidup
di dalam saluran dan pembuluh limfe, sedangkan mikrofilaria dijumpai di dalam
darah tepi hospes definitif. Bentuk cacing dewasa mirip bentuknya dengan W.
bancrofti, sehingga sulit dibedakan. Panjang cacing betina B. malayi dapat
mencapai 55 mm, dan cacing jantan 23 cm. B. timori betina panjang badannya
sekitar 39 mm dan yang jantan panjangnya dapat mencapai 24 mm.
Mikrofilaria
Brugia mempunyai selubung, panjangnya dapat mencapai 260 mikron pada B. timori.
Ciri khas mikrofilaria B. malayi adalah bentuk ekornya yang mengecil, dan
mempunyai dua inti terminal, sehingga mudah dibedakan dari mikrofilaria W.
bancrofti.
Masa
pertumbuhan B. malayi dan B. timori di dalam tubuh nyamuk kurang lebih 10 hari
dan pada manusia kurang lebih 3 bulan. Dalam tubuh nyamuk kedua parasit ini
mengalami dua kali pergantian kulit, brkembang dari larva stadium II dan III,
menyerupai perkembangan W. bancrofti. Perkembangan di dalam tubuh manusia kedua
parasit ini sama dengan perkembangan W. bancrofti.
Brugia
ada yang zoonotik, tetapi ada yang hanya hidup pada manusia. Pada Brugia yang
zoonotik, selain manusia juga berbagai hewan mamalia dapat bertindak selaku
hospes definitif. Periodisitas B. malayi bermacam-macam, ada yang nocturnal
periodic, nocturnal subperiodic, atau non periodic. B. timori bersifat periodik
nokturna.
Nyamuk
yang dapat menjadi vektor penularnya adalah Anopheles (vektor brugiasis non
zoonotik) atau Mansonia (vektor brugiasis zoonotik). Berbeda dengan filariasis bancrofti,
limfadenitis pada brugiasis malayi yang terjadi pada satu kelenjar inguinal
dapat menjalar ke bawah. Selain itu limfadenitis jika sembuh akan meninggalkan
jaringan parut yang khas.
Elefantiasis
pada brugiasis malayi hanya mengenai tungkai bawah yang terletak di bawah
lutut. Hanya kadang-kadang terjadi di lengan bawah di bawah siku. Pada penyakit
ini juga tidak pernah terjadi limfangitis dan elefantiasis pada alat kelamin
dan payudara.
Untuk
menetapkan diagnosis pasti harus diperiksa darah tepi untuk menemukan
mikrofilaria yang khas bentuknya. Pemeriksaan imunologik yang dilakukan
terutama bertujuan untuk meningkatkan kepekaan dalam menentukan diagnosis dini
filariasis malayi ini.
. Ditemukan di daerah perkotaan seperti Jakarta, Bekasi,
Tangerang, Semarang, Pekalongan dan sekitarnya memiliki periodisitas nokturna,
ditularkan oleh nyamuk Culex quinquefasciatus yang berkembang biak di air
limbah rumah tangga. Dan Ditemukan di daerah pedesaan di luar Jawa, terutama
tersebar luas di Papua dan Nusa Tenggara Timur, mempunyai periodisitas nokturna
yang ditularkan melalui berbagai spesies nyamuk Anopheles dan Culex dan Aedes.
Secara
umum daur hidup spesies cacing tersebut tidak berbeda. Daur hidup parasit
terjadi di dalam tubuh manusia dan tubuh nyamuk. Cacing dewasa (disebut
makrofilaria) hidup di saluran dan kelenjar limfe, sedangkan anaknya (disebut
mikrofilaria) ada di dalam sistem peredaran darah (Depkes RI, 2009).
a.
Makrofilaria
Makrofilaria (cacing dewasa) berbentuk silindris, halus
seperti benang berwarna putih susu dan hidup di dalam sistem limfe. Cacing
betina bersifat ovovivipar dan berukuran 55 – 100 mm x 0,16 mm, dapat
menghasilkan jutaan mikrofilaria. Cacing jantan berukuran lebih kecil ± 55 mm x
0,09 mm dengan ujung ekor melingkar.
b.
Mikrofilaria
Cacing
dewasa betina setelah mengalami fertilisasi mengeluarkan jutaan anak cacing
yang disebut mikrofilaria. Ukuran mikrofilaria 200-600 μm x 8 μm dan mempunyai
sarung. Secara mikroskopis, morfologi spesies mikrofilaria dapat dibedakan
berdasarkan : ukuran ruang kepala serta warna sarung pada pewarnaan giemsa,
susunan inti badan, jumlah dan letak inti pada ujung ekor.
c.
Larva dalam Tubuh Nyamuk
Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan yang
mengandung mikrofilaria, maka mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam lambung
dan melepaskan selubungnya, kemudian menembus dinding lambung dan bergerak
menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Setelah ± 3 hari, mikrofilaria
mengalami perubahan bentuk menjadi larva stadium 1 (L1), bentuknya seperti
sosis berukuran 125-250 mm x 10-17 mm, dengan ekor runcing seperti cambuk.
Setelah ± 6 hari, larva tumbuh menjadi larva stadium 2 (L2) disebut larva
preinfektif yang berukuran 200-300 mm x 15-30 mm, dengan ekor tumpul atau
memendek. Pada stadium 2 ini larva menunjukkan adanya gerakan. Hari ke 8 – 10
pada spesies Brugia atau hari 10 – 14 pada spesies Wuchereria, larva tumbuh menjadi
larva stadium 3 (L3) yang berukuran ± 1400 mm x 20 mm. Larva stadium 3 tampak
panjang dan ramping disertai dengan gerakan yang aktif. Stadium 3 ini merupakan
cacing infektif.
3.5. Pencegahan
Cara pencegahan Filariasis meliputi
:
a.
Memberikan penyuluhan kepada
masyarakat di daerah endemis mengenai cara penularan dan cara pengendalian
vector (nyamuk)
b.
Mengidentifikasi vector dengan
mendeteksi adanya larva infektif dalam nyamuk dengan menggunakan umpan manusia,
mengidentifikasi waktu dan tempat menggigit nyamuk serta tempat
perkembangbiakannya. Jika penularan terjadi oleh nyamuk yang mengigit pada
malam hari di dalam rumah maka tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah
dengan penyemprotan, menggunakan pestisida residual, memasang kawat kasa, tidur
dengan menggunakan kelambu (lebih baik yang sudah di celup dengan insektisida
piretroid), memakai obat gosok anti nyamuk (repellents) dan membersihkan tempat
perindukan nyamuk seperti kakus yang terbuka, ban-ban bekas, batok kelapa dan
membunuh larva dengan larvasida. Jika ditemukan Mansonia sebagai vector pada
suatu daerah, tindakan yang dilakukan adalah dengan membersihkan kolam-kolam
dari tumbuhan air (Pistia) yang menjadi sumber oksigen bagi larva tersebut.
c.
Pengendalian vector jangka
panjang mungkin memerlukan perubahan konstruksi dan termasuk pemasangan kawat
kasa serta pengendalian lingkungan untuk memusnahkan tempat perindukan nyamuk.
d.
Memberikan obat anti-filariasis (DEC dan
Albendazol) secara berkala pada kelompok beresiko tinggi terutama di daerah
endemis. Diethyl Carbamazine Citrate
(DEC) merupakan obat yang paling efektif untuk membunuh microfilaria maupun
makrofilaria
e.
pencegahan yang paling efektif tentu saja
dengan memberantas nyamuk itu sendiri dengan cara 3M.
f.
menggunakan pakaian panjang yang menutupi kulit
dan tidak memakai pakaian berwarna gelap karena dapat menarik nyamuk.
3.6.
CARA PENGOBATAN
3.6.1. Pengobatan Massal
Pengobatan
massal dilaksanakan di daerah endemis filariasis yaitu daerah dengan angka Mf
rate > 1% yang bertujuan mematikan semua mikrofilaria yang ada dalam darah
setiap penduduk dalam waktu bersamaan sehingga memutus rantai penularannya.
Pengobatan massal filariasis dengan menggunakan kombinasi DEC 6 mg/kg BB,
Albendazole 400 mg, dan Parasetamol 500 mg yang diberikan sekali setahun selama
minimal 5 tahun (Depkes, 2009).
3.6.2. Pengobatan Kasus Klinis (Individual)
Pada
semua kasus klinis filariasis di daerah endemis maupun non endemis diberikan
DEC 3x1 tablet 100mg selama 10 hari dan parasetamol 3x1 tablet 500 mg dalam 3
hari pertama untuk orang dewasa. Dosis anak disesuaikan dengan berat badan.
Tetapi harus menjadi perhatian bahwa pada kasus klinis yang dengan gejala
klinis akut dan kasus klinis kronis yang sedang mengalami serangan akut harus
diobati terlebih dahulu gejala akutnya dengan obat-obatan simptomatik seperti
obat demam, penghilang rasa sakit atau antibiotik apabila ada infeksi sekunder
:
• Bila penderita berada di daerah endemis maka pada tahun
berikutnya diikutsertakan dalam pengobatan massal dengan DEC, Albendazole dan
Parasetamol sekali setahun minimal 5 tahun secara berturut-turut.
• Bila penderita berada di daerah non endemis pemberian DEC
dengan dosis 3 x 100mg selama 10 hari sudah cukup. Langkah selanjutnya adalah
pembersihan dan perawatan diri (Depkes RI, 2009).
3.7. Rehabilitasi Penyakit Filariasis
Penderita
filariasis yang telah menjalani pengobatan dapat sembuh total. Namun, kondisi
mereka tidak bisa pulih seperti sebelumnya. Artinya, beberapa bagian tubuh yang
membesar tidak bisa kembali normal seperti sedia kala. Rehabilitasi tubuh yang
membesar tersebut dapat dilakukan dengan jalan operasi.
3.8. Prognosis Filariasis
Pada kasus-kasus dini dan sedang, prognosis baik terutama bila
pasien pindah dari daerah endemic. Pengawasan daerah endemic tersebut dapat
dilakukan dengan pemberian obat, serta pemberantasan vektornya. Pada
kasus-kasus lanjut terutama dengan edema tungkai, prognosis lebih buruk.
BAB III
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Filariasis adalah
penyakit zoonosis menular yang banyak ditemukan di wilayah
tropika seluruh dunia. Penyebabnya adalah sekelompok cacing parasit nemtoda
yang tergolong superfamilia Filarioidea yang menyebabkan infeksi sehingga
berakibat munculnya edema. Gejala yang umum terlihat adalah terjadinya elefantiasis, berupa membesarnya tungkai bawah (kaki) dan kantung zakar
(skrotum), sehingga penyakit ini secara awam dikenal sebagai penyakit kaki
gajah.
Filariasis disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria,
yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori. Mikrofilaria
mempunyai periodisitas tertentu, artinya mikrofilaria berada di darah tepi pada
waktu-waktu tertentu saja. Misalnya pada Wuchereria bancrofti bersifat periodik
nokturna, artinya mikrofilaria banyak terdapat di dalam darah tepi pada malam
hari, sedangkan pada siang hari banyak terdapat di kapiler organ dalam seperti
paru-paru jantung dan ginjal (Depkes RI, 2009a).
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar